Life is full of choices... Make sure you pick the right one. Don't listen to the voices. Hear only yours and you have won. Your looks are your own. Someone will always love you. You will never be alone. Look in the mirror and you will see who!!
DutchEnglishSpainFrenchGermanRussianJapaneseChinese SimplifiedItalianArabicKorean

Rabu, 15 Februari 2012

Kang Sejo Melihat Tuhan



oleh Mohammad Sobary
DIALOG
 
Desember, 1990. Kampus Monash mulai  sepi.  Hari  Natal  itu
tiba.  Sejumlah  teman  bernatalan  di rumah keluarga Ruffin
Kedang, sahabat kami, yang sekarang sudah jadi Aussie.
 
Di antara para tamu, sore itu,  ada  beberapa  muslimin  dan
muslimat.  Mereka  minta  izin salat. Ada rasa canggung pada
mulanya, khawatir  dianggap  demonstratif.  Tapi,  panggilan
salat tak bisa ditunda. Waktu magrib cuma begitu pendek.
 
"Oh,  silakan  saja,  Bapak.  Mari, silakan, Ibu," kata tuan
rumah, masih kentara logat Flores-nya.
 
Mengherankan. Ruffin, yang selalu lembut tutur katanya  itu,
mengeluarkan  sajadah  dan  mukena. Tamu wanita yang tadinya
tak ingin salat, berkat mukena itu, salat juga jadinya.
 
Saya dengar  cerita  ini  dari  seorang  teman.  Malu,  saya
sendiri  tak  hadir.  Namun, sebagai balas jasa, ingin benar
saya bangun gereja buat Bung Ruffin, bila saya banyak uang.
 
Awal  Februari,  1991.  Kampus  Monash  masih  sepi.   Tapi,
konferensi dunia tentang Agama dan Perdamaian itu dimulai.
 
Tema   konferensi  itu  Understanding  Neighbouring  Faiths.
Sebuah forum dialog antar-berbagai umat beragama.  Terutama,
kita  dari  Indonesia  (dengan  warna  Islam)  dan Australia
(dengan  warna  Kristen).  Sejumlah  tokoh  dari   Indonesia
diundang.
 
Sambil  mendengarkan  pidato  pembukaan, saya berpikir, dari
mana dialog akan  dimulai,  bila  sikap  kita  telah  begitu
tegas:   la  kum  dinukum  waliyaddin,  bagiku  agamaku  dan
bagimulah agamamu?
 
Saya teringat Warsito Utomo  (sedang  menulis  disertasi  di
Monash),  teman  diskusi,  yang taat ke gereja itu. Baginya,
agama tak saling mencemari. Ia tak menganggap agama  sebagai
"penjara" yang menjerat gerak jiwanya untuk mewujudkan makna
"kasih" yang universal itu.
 
Akan selancar  dialog  saya  dengan  diakah  konferensi  ini
berjalan? Saya belum tahu.
 
Dalam  sidang komisi, di konferensi itu, saya pernah memilih
satu ruangan bersama Herbert Feith (ahli  politik  Indonesia
yang   beken   itu),   para  kolumnis  Indonesia  (Soetjipto
Wirosardjono, Djohan  Effendi,  Fachry  Ali),  dan  sejumlah
orang Australia.
 
Ketika  tiap  orang  harus  menunjuk apa yang dirasa sebagai
"ganjelan" bangsa Australia dalam  pergaulan  dengan  bangsa
Indonesia,  mereka  menyebut  "rasa  takut" pada Islam. Bagi
mereka, Islam itu pedang  terhunus,  potret  Khomeini,  atau
Saddam.
 
Citra  Islam  seperti  ini  belum pupus di mata orang Barat.
Dan, meletusnya Perang  Teluk  memperburuk  citra  tersebut.
Kemudian,  diam-diam,  rasa  takut  menyebar  di  Australia.
Mereka khawatir jika Indonesia memihak Saddam.
 
Ketakutan  itu,  sebagian,   disebabkan   semacam   perasaan
"berdosa"  di  kalangan  rakyat,  karena  pemerintah  mereka
mengirim  pasukan  ke  Timur  Tengah.  Rakyat  protes,  tapi
pemerintah   lebih  mendengar  titah  big  boss  di  Amerika
daripada suara rakyatnya sendiri.
 
Di tengah rasa takut ini, kemudian muncul  orang-orang  yang
"marah" kepada umat Islam, kelompok minoritas di negeri itu.
Di Sydney, misalnya,  umat  harus  berjaga  di  luar  masjid
ketika salat jamaah, karena mereka diganggu.
 
Dengan  malu  seorang sahabat, mahasiswa Australia, mengakui
bahwa pemukulan atas seorang  muslim  Indonesia  oleh  oknum
Australia   di   Melbourne,   seminggu   sebelum  konferensi
berlangsung, merupakan sebuah corengan di wajahnya.
 
Bagi saya, kejadian ini  lebih  menegaskan  betapa  perlunya
dialog.  Dalam  abad ketika secara geografis dunia bertambah
sempit --Indonesia-Australia ibarat cuma tetangga dalam  satu
komplek  perumahan--  memahami tetangga itu sebuah keharusan.
Untuk bisa bertetangga secara damai, kita perlu  menghormati
agama keluarga sebelah
 
Memang, dalam konferensi itu, sekali terdengar self mockery:
pihak  Islam  menertawakan   Islam,   Kristen   menertawakan
Kristen. Suatu cara "produktif" untuk saling berbagi.
 
Tak   lupa,  pihak  Islam  menjelaskan,  misalnya  Soetjipto
Wirosardjono, Islam itu damai, dan bahwa  di  Indonesia  tak
ada  bukti  penyebaran Islam dengan pedang. Satu lagi, Islam
itu rahmatan Iil alamin: rahmat bagi semesta  alam.  Kristen
juga  menjelaskan  makna  kasih  dan persaudaraan universal,
inti ajaran mereka.
 
Peserta, dengan kata lain, menikmati "hidangan" serba  ideal
dari  kandungan  tiap  agama.  Dalam  dialog ini, tiap pihak
mengakui akan betapa luhur ajaran pihak lain. Sejenak, semua
melupakan realitas yang tak selamanya mulus itu.
 
Orang  Barat,  terutama  kaum  feminisnya,  menganggap bahwa
Islam  itu  opresif  terhadap  wanita.  Marwah   Daud   lalu
menjelaskan   posisi   wanita   dan   Islam,  dengan  contoh
Indonesia. Ada saja yang heran,  ternyata  dalam  masyarakat
Islam ada wanita yang berprestasi sebagai doktor.
 
Dialog begini, bagaimanapun, diperlukan. Menenggang perasaan
pihak  lain  diutamakan.   Perbedaan   teologis   tak   usah
dibicarakan.   Bukankah,   dalam   ajarannya,   tiap   agama
mengandung antroposentrisme, yang perlu lebih digarisbawahi,
agar  dialog berjalan dalam suasana persaudaraan? Di sinilah
titik kuat dialog itu.
 
---------------
Mohammad Sobary, Editor, No.5/Thn.V/19 Oktober 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar