Suatu
ketika, sepasang suami istri, Dorman, mengadakan 'garage sale' untuk
menjual barang-2 bekas yg tidak mereka butuhkan lagi. Suami istri ini
sudah setengah baya, dan anak-anak mereka telah meninggalkan rumah untuk
hidup mandiri. Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual
barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi.
Saat mengumpulkan barang2 yg akan dijual, mereka menemukan benda2 yg su...dah lama tersimpan di gudang. Salah satunya sebuah cermin hadiah pernikahan mereka, tiga puluh tahun yll.
Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah
digunakan. Bingkainya yg berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak
buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah
mereka. Cermin itu teronggok di loteng. Setelah tiga puluh tahun
berlalu, mereka berpikir orang yang memberikannya tentu sudah lupa
dengan cermin itu. Maka mereka mengeluarkannya dari gudang, dan
meletakkannya bersama dg barang lain untuk dijual keesokan hari.
Garage sale mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah
mereka penuh oleh orang2 yg datang untuk melihat barang bekas yg mereka
jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah
tangga, buku2, pakaian, alat berkebun, mainan anak2, bahkan radio tua yg
sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli.
Seorang lelaki menghampiri Bu Dorman.
"Berapa harga cermin itu?" katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai tadi.
bu Dorman tercengang. "Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual
cermin itu. Apakah Anda sungguh ingin membelinya?" katanya.
"Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus." jawab pria itu.
Bu Dorman tidak tahu berapa harga yg pantas untuk cermin jelek itu.
Meskipun sangat mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dan tidak
berharga.
Setelah berpikir sejenak, Bu Dorman berkata, "Hmm ... anda bisa membeli cermin itu untuk sepuluh ribu rupiah saja."
Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik
selembar uang puluhan ribu dan memberikannya kepada Bu Dorman.
"Terima kasih," kata Bu Dorman, "Sekarang cermin itu jadi milik Anda. Apakah perlu dibungkus?"
"Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang."
jawab si pembeli sambil mengupas pinggiran bingkai cermin itu. Dg satu
tarikan dia melepaskan lapisan pelindungnya dan muncullah warna keemasan
dari baliknya. Bingkai cermin itu ternyata bercat emas yang sangat
indah, dan warna biru aqua yang selama ini menutupinya hanyalah warna
dari lapisan pelindung bingkai itu!
"Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!" sorak pria itu dengan gembira.
Bu Dorman tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah itu dibawa
pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih pantas
daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu.
Kisah ini
sekedar menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita sendiri.
Terkadang kita merasa hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita
inginkan. Kita melihat hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus
kita jalani. Bangun pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur, bangun
pagi, pegi bekerja, pulang sore, tidur. Itu saja yang kita jalani setiap
hari.
Sama halnya dengan pasangan Dorman yg hanya melihat
plastik pelapis dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa
cermin itu jelek dan tidak cocok digantung di dinding. Padahal dibalik
lapisan itu, ada warna emas yang indah.
Padahal di balik
rutinitas hidup kita, ada banyak hal yang dapat memperkaya hidup kita.
Setiap saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur
hidup kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam
hidup kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita.
Akankah kita menyia-nyiakannya dengan terpaku pada rutinitas? Akankah
kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak seperti
yang kita inginkan?
Setelah dua puluh tahun, dan setelah
terlambat, barulah Bu Dorman menyadari nilai sesungguhnya dari cermin
tersebut. Inginkah kita menyadari keindahan hidup kita setelah segalanya
terlambat? Tentu tidak.
Sebab itu, marilah kita mulai mengikis
pandangan kita bahwa hidup hanyalah rutinitas belaka. Mari kita mulai
mengelupas rutinitas tersebut dan menemukan nilai sesungguhnya dari
hidup kita.
Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan
hal-hal baru, belajar lebih banyak, mengenal orang lebih baik. Mari
kita melakukan sesuatu yang baru. Mari kita membuat perbedaan! Dengan
suatu semangat baru untuk menjalani hidup lebih baik setiap hari.
Source : intisari, lupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar