By : Langlang
Bila ini mungkin, tidaklah semudah itu memindahkan padang
edelweiss ke ujung musim, sebab di sana masih tak beranjak dari sebuah
kemarau kering yang menantang langit. Dan masih saja matamu berkaca,
“Buat apa airmatamu, bila engkau sendiri tak tahu, untuk apa airmata
itu?”.
Engkau masih saja terdiam. Sesaat engkau menghela nafas sedikit memaksa,
“Keabadian
edelweiss tidak akan pernah berubah, meski tak lagi berada di tempat
seharusnya. “ katamu datar tanpa merubah garis bibir tak bersenyum.
“Airmata
ini bukan tanpa sebab. Dia keluar karena memang hatiku tidak
menginginkanya. Terlalu sesak dada ini menahannya, bahkan kalau mungkin,
sangat bijak kalau aku berteriak.”
“Berteriaklah, bila itu melegakan,” kataku sambil kutatap mata sembabnya.
“
Hmmm, ada jejak kaki di padang itu, dan dari jejak itulah kutemukan
seorang lelaki biasa yang dengan segala hormatnya menyentuh tebing
rasaku. Beberapa tangkai bunga edelweiss diberikan sebanding dengan
senyumannya yang menghipnotisku sekian detik. Tapi dengan jeda waktu
yang begitu kilas, lelaki itu menghilang begitu saja, di saat aku
terjebak dengan ketertegunanku itu. Duh cahaya mata dan senyuman itu
telah membawaku ke dataran mimpi-mimpiku sampai hari ini.”
“Kamu rindu jejak kaki itukah?” kataku. Kamu hanya mengangguk.
“Itulah yang membuatku terpuruk dalam ketelanjanganku,” jawabmu.
“Di
saat gunung salju itu meleleh, di saat itu pula gelombang samudra
melewati batas ketidak mungkinan. Aku terbawa hempasannya, dan terlempar
dengan segala kepasrahan. Sampai batu karang ini menghimpitku hingga
aku terpuruk dalam kehampaan. Dia ada, tapi tidak ada. Dia nyata tapi
hadirnya selalu dalam mimpi-mimpi tak terduga,” lanjutmu.
“Lalu?” kataku, “Itulah kekecewaan rasa yang tidak seharusnya terjadi,” katamu pelan menghiba.
“Kalau begitu lekaslah kau cari dia, meski harus kau tunggu di padang itu...,” kataku,
“Tidak
perlu. Aku merasa kian lama kian tersesat, dimana aku sendiri tak tahu,
maka aku ingin singkirkan belukar dan ilalang kekecewaan itu dari
jalanku, agar aku bisa melihat jelas perseteruan malaikat dan iblis
dalam batinku."
"Bukan...bukan begitu !!
justru kitalah yang bakal jadi tontonan mereka, karena dari sekian babak
kehidupan, kitalah yang selalu terjebak dalam jentera waktu dan ribuan
nafsu, meski jiwa kita tetap tidak akan menyatu, ingatlah itu? Dan kita
tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengikuti alur sandiwara ini."
"Tidak,
kita bebas merubah arah cerita ini!!. Kita hanyalah tontonan tapi kita
yang ada dalam permainan," "Bebas katamu? bukankah kita hanyalah
penerima Takdir? Coba berikanlah sebelah tanganmu padaku, genggamlah
batang bunga mawar yang berduri ini lalu remaslah, apa yang terjadi??"
“Benar
memang begitu, tapi tak seharusnya kau berkata begitu... bukankah
lelaki itu dirimu sendiri? Yang sekian musim mencampakkan perasaan yang
tidak semestinya kau tutupi, bahkan mata logikapun kau tipu dengan rapi,
lalu mengapa aku harus menunggu di padang itu?” katanya mengejutkanku.
“Wajahmu
memang berubah, mukamu telah tercukur rapi, tapi tidak untuk suaramu,
tidak juga untuk sorot matamu, dan mengapa juga kau mengundangku untuk
bertemu di padang bunga ini?” katanya lagi.
“Sssst,
aku tidak perlu jawabmu, kau hanya ingin sembunyi dari kejaran mimpiku”
bisiknya sambil telunjuk jarinya ditempelkan ke bibirku, “Kemana
nyalimu pergi?”
Permainanku jadi
permainan. Sekarang giliranku yang dipermainkan. Nyaliku memang datang
terlambat. Memang wajahmulah yang selalu terbayang, berjalan lamban
sengaja bersandar pada ruas-ruas mimpiku. Kau begitu lugu untuk sebuah
cinta, hingga sekian waktu kau relakan untuk merajut rasa dan mengalir
begitu saja. Sedang aku telah terjebak pada sebuah keinginan, memimpikan
apa yang kuinginkan, sebuah hati yang sesungguhnya harus disinggahi.
Tapi aku berdiri di atas tanah yang rapuh. Aku tidak punya keberanian
untuk membuat pondasi yang kokoh untuk menyentuhmu, karenanya kau
mengenalku bukan sebagai lelaki di padang edelweis itu.
“Mengapa
harus begitu, kau memperkenalkan dirimu sebagai alang-alang
disekeliling padang bunga ini, bukan yang lain. Kau sendiri yang
berkata, dirimulah penjaga padang ini dari setiap pergantian siang dan
malam. Bisa saja kau memangku rembulan, agar dia tidak jatuh di padang,
juga melambai gemulai pada matahari, agar dia mau kompromi tidak
menyengatkan. Kau biarkan dirimu menahan hujan, setidaknya agar airnya
tidak menggenang. Kau tegakkan dirimu menahan angin, agar bunga-bunga
edelweiss tidak terguncang,” katamu lirih dan tetap saja aku tidak dapat
bicara. “Sekarang aku bisa melihat jelas perseteruan malaikat dan iblis
bukan lagi dalam batinku,” lanjutmu sambil memberikan helaian
bunga-bunga edelweiss kepadaku. Dan tanganku tergetar menerimanya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar