Life is full of choices... Make sure you pick the right one. Don't listen to the voices. Hear only yours and you have won. Your looks are your own. Someone will always love you. You will never be alone. Look in the mirror and you will see who!!
DutchEnglishSpainFrenchGermanRussianJapaneseChinese SimplifiedItalianArabicKorean

Kamis, 16 Februari 2012

Jejak Kaki Di Padang Edelweis

 By : Langlang



Bila ini mungkin, tidaklah semudah itu memindahkan padang edelweiss ke ujung musim, sebab di sana masih tak beranjak dari sebuah kemarau kering yang menantang langit. Dan masih saja matamu berkaca, “Buat apa airmatamu, bila engkau sendiri tak tahu, untuk apa airmata itu?”. 
Engkau masih saja terdiam.  Sesaat engkau menghela nafas sedikit memaksa,

“Keabadian edelweiss tidak akan pernah berubah, meski tak lagi berada di tempat seharusnya. “ katamu datar tanpa merubah garis bibir tak bersenyum.

“Airmata ini bukan tanpa sebab. Dia keluar karena memang hatiku tidak menginginkanya. Terlalu sesak dada ini menahannya, bahkan kalau mungkin, sangat bijak kalau aku berteriak.” 

“Berteriaklah, bila itu melegakan,” kataku sambil kutatap mata sembabnya.

“ Hmmm, ada jejak kaki di padang itu, dan dari jejak itulah kutemukan seorang lelaki biasa yang dengan segala hormatnya menyentuh tebing rasaku. Beberapa tangkai bunga edelweiss diberikan sebanding dengan senyumannya yang menghipnotisku sekian detik. Tapi dengan jeda waktu yang begitu kilas, lelaki itu menghilang begitu saja, di saat aku terjebak dengan ketertegunanku itu. Duh cahaya mata dan senyuman itu  telah membawaku ke dataran mimpi-mimpiku sampai hari ini.”

“Kamu rindu jejak kaki itukah?” kataku. Kamu hanya mengangguk.

“Itulah yang membuatku terpuruk dalam ketelanjanganku,” jawabmu.

“Di saat gunung salju itu meleleh, di saat itu pula gelombang samudra melewati batas ketidak mungkinan. Aku terbawa hempasannya, dan terlempar dengan segala kepasrahan. Sampai batu karang ini menghimpitku hingga aku terpuruk dalam kehampaan. Dia ada, tapi tidak ada. Dia nyata tapi hadirnya selalu dalam mimpi-mimpi tak terduga,” lanjutmu.


“Lalu?” kataku, “Itulah kekecewaan rasa yang tidak seharusnya terjadi,” katamu pelan menghiba.


“Kalau begitu lekaslah kau cari dia, meski harus kau tunggu di padang itu...,” kataku,

“Tidak perlu. Aku merasa kian lama kian tersesat, dimana aku sendiri tak tahu, maka aku ingin singkirkan belukar dan ilalang kekecewaan itu dari jalanku, agar aku bisa melihat jelas perseteruan malaikat dan iblis dalam batinku."

"Bukan...bukan begitu !! justru kitalah yang bakal jadi tontonan mereka, karena dari sekian babak kehidupan, kitalah yang selalu terjebak dalam jentera waktu dan ribuan nafsu, meski jiwa kita tetap tidak akan menyatu, ingatlah itu? Dan kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengikuti alur sandiwara ini."


"Tidak,  kita bebas merubah arah cerita ini!!.  Kita hanyalah tontonan tapi kita yang ada dalam permainan," "Bebas katamu? bukankah kita hanyalah penerima Takdir? Coba berikanlah sebelah tanganmu padaku,  genggamlah batang bunga mawar yang berduri ini lalu remaslah, apa yang terjadi??"

“Benar memang begitu, tapi tak seharusnya kau berkata begitu... bukankah lelaki itu dirimu sendiri? Yang sekian musim mencampakkan perasaan yang tidak semestinya kau tutupi, bahkan mata logikapun kau tipu dengan rapi, lalu mengapa aku harus menunggu di padang itu?” katanya mengejutkanku.

“Wajahmu memang berubah, mukamu telah tercukur rapi, tapi tidak untuk suaramu, tidak juga untuk sorot matamu, dan mengapa juga kau mengundangku untuk bertemu di padang bunga ini?” katanya lagi.
“Sssst, aku tidak perlu jawabmu, kau hanya ingin sembunyi dari kejaran mimpiku” bisiknya sambil telunjuk jarinya ditempelkan ke bibirku, “Kemana nyalimu pergi?”

Permainanku jadi permainan. Sekarang giliranku yang dipermainkan. Nyaliku memang datang terlambat. Memang wajahmulah yang selalu terbayang, berjalan lamban sengaja bersandar pada ruas-ruas mimpiku. Kau begitu lugu untuk sebuah cinta, hingga sekian waktu kau relakan untuk merajut rasa dan mengalir begitu saja. Sedang aku telah terjebak pada sebuah keinginan, memimpikan apa yang kuinginkan, sebuah hati yang sesungguhnya harus disinggahi. Tapi aku berdiri di atas tanah yang rapuh. Aku tidak punya keberanian untuk membuat pondasi yang kokoh untuk menyentuhmu, karenanya kau mengenalku bukan sebagai lelaki di padang edelweis itu.

“Mengapa harus begitu, kau memperkenalkan dirimu sebagai alang-alang disekeliling padang bunga ini, bukan yang lain. Kau sendiri yang berkata, dirimulah penjaga padang ini dari setiap pergantian siang dan malam. Bisa saja kau memangku rembulan, agar dia tidak jatuh di padang, juga melambai gemulai pada matahari, agar dia mau kompromi tidak menyengatkan. Kau biarkan dirimu menahan hujan, setidaknya agar airnya tidak menggenang. Kau tegakkan dirimu menahan angin, agar bunga-bunga edelweiss tidak terguncang,” katamu lirih dan tetap saja aku tidak dapat bicara. “Sekarang aku bisa melihat jelas perseteruan malaikat dan iblis bukan lagi dalam batinku,” lanjutmu sambil memberikan helaian bunga-bunga edelweiss kepadaku. Dan tanganku tergetar menerimanya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar